Iklan sebagai Representasi Pencapaian Intelektual
oleh Saut Situmorang

Kalian, para hypocrite readers, tentu tidak merasa tidak biasa, atau
merasa luar biasa, pengalaman menonton televisi, apalagi televisi
Indonesia. Sebagai posmohomoicus kalian pun tentu punya satu set
televisi di tempat habitat kalian masing-masing, dengan ukuran inci
dan merek yang bervariasi. Sebagai posmohomoicus kontemporanus yang
memiliki minimum satu set televisi tentu saja kalian juga tidak
merasa luar biasa pengalaman menonton iklan di televisi Indonesia.
Kalian adalah homoiklanikus yang telah berhasil mencapai tingkat
evolusi metafisika simulasi elektronik seperti yang diajarkan oleh
sang nabi "the desert of images" Jean Baudrillard dari negeri Prancis
tercinta.

Baudrillard adalah seorang Marxis revisionis yang paling ngetop dan
ok's bang-get saat ini. Revisi yang dilakukannya atas teori produksi
Karl Marx ternyata tidak menyebabkannya mati terbunuh ala Trotsky
atau Rosa Luxemburg. Malah membuatnya jadi selebriti akademis paling
ngetren saat ini di Barat.

Bagi Baudrillard, bukan komoditi dalam wujud kasat mata macam mobil
Ford yang sekarang menjadi tanda dari kapitalisme, seperti yang tempo
doeloe diajarkan oleh sang Marx. Fetishisme komoditi Marxian seperti
itu sudah berlalu, sudah jadi sejarah sudah jadi Marxisme ortodoks.
Sekarang ini, dalam era yang disebut sebagai jaman "late capitalism"
ini, masa pascaindustri ini, "the end of history" ini, bukan produksi
komoditi yang menjadi ideologi kapitalisme tapi "the production of
desires". Produksi barang telah diganti dengan produksi keinginan-
akan-barang (desires) dan proses ini secara intens dilakukan melalui
produksi iklan. Bagi Baudrillard, kapitalisme akhir tidak lagi
berusaha menjual "realitas" seperti pada jaman dahulu kala tapi
menjual "gambar" tentang "realitas" tersebut. Dan televisi merupakan
goa Platonis paling canggih dalam bisnis jualan "bayangan ide" ini.

Sebenarnya apakah "iklan" itu, para pembaca munafik? Apakah "iklan"
adalah objek "sebenarnya" yang didagangkan ke para calon konsumen?
Bukankah apa yang dibeli para konsumen, di kedai sampai, di
supermarket, di mal adalah "iklan" yang mereka lihat terutama di
layar televisi mereka? Pendek kata, bukankah "ilusi" tentang
sebuah "komoditi" sebenarnya yang dibeli seseorang setelah dia
mendapatkan "pengetahuan" tentang komoditi tersebut lewat iklan di
televisi?

So much for that. Sekarang marilah kita menonton iklan di televisi
Indonesia. Secara umum pukul rata saya berani mengatakan bahwa
televisi Indonesia sebenarnya lebih banyak menayangkan iklan daripada
mata acara lainnya. Iklan memang sebuah mata acara televisi, saudara-
saudara pembaca yang munafik. Itulah sebabnya iklan memiliki porsi
tayang yang jauh lebih banyak ketimbang siaran berita misalnya.

Kalau kita menonton mata acara "iklan" di televisi Indonesia maka
akan kita temukan bahwa iklan "obat" merupakan sub-tayangan yang
paling banyak frekuensinya, disusul oleh iklan "pemutih kulit
perempuan" dan shampoo, sementara "iklan ancaman" semacam iklan
kondom yang dibintangutamai Harry Roesli itu menduduki posisi paling
bawah.

Signifikasi apakah yang direpresentasikan oleh "iklan obat" yang
paling populer itu? Juga, makna apakah yang ditunjukkan oleh
minimnya "iklan ancaman" di televisi Indonesia?

Hypocrite reader, kalian tentu juga pasti sudah pernah menonton iklan
made-in-Barat di Indonesia, baik di salah satu saluran televisi yang
ada maupun lewat cable television yang memanfaatkan teknologi satelit
yang canggih itu. Nah, apakah yang kalian sadari setelah menonton
iklan televisi yang terakhir ini? Apakah mata acara "iklan" mirip
dengan yang di televisi Indonesia, mayoritas tentang "obat"
dan "pemutih kulit perempuan"?

Hal lain yang juga menarik untuk ditonton, wahai para pembaca
hipokrit, adalah bagaimanakah mata acara "iklan" dibuat di kedua
televisi di atas, televisi Indonesia dan televisi Barat?
Bagaimanakah "sinematografi" kedua versi tersebut?
Bagaimanakah "akting" para "aktor" masing-masing versi? Satu faktor
lain yang tidak bisa dilewatkan adalah bagaimanakah "naratif"
diceritakan oleh kedua versi tersebut?

Iklan adalah ilusi realitas yang dijual oleh kapitalisme akhir kepada
konsumen dan merupakan realisasi dari ideologi "production of
desires" para kapitalis posmo. Meskipun demikian, sebagai
homoiklanicus tidakkah kita juga memiliki hak untuk
mendapatkan "products of desires" yang bermutu ekspor, bukan sekedar
bermutu "factory outlet" belaka, wahai para pembaca yang munafik?

Jogja, 21 September (ceria) 2002

0 comments: